Sepiring Nasi di Balik Senyum.
Surabaya, YAYASANANGGAINDONESIAMAJU.COM -- Di sebuah kampung kecil, hiduplah seorang anak bernama Rafi. Umurnya baru sepuluh tahun, namun wajahnya terlihat lebih dewasa dari usianya. Sejak ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan kerja di proyek bangunan, Rafi hanya tinggal bersama ibunya, Bu Aisyah, dan adiknya yang masih balita, Siti.
Hari-hari mereka diwarnai kesederhanaan, bahkan sering kali kekurangan. Bu Aisyah bekerja serabutan mencuci pakaian tetangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Suatu malam di Rumah Sederhana
Di rumah yang dindingnya dari anyaman bambu, suara hujan menetes dari atap yang bocor. Rafi menadah air dengan ember kecil.
“Ibu…” katanya pelan. “Atap kita makin bocor. Kalau hujan deras, Siti kedinginan.”
Bu Aisyah menghela napas. Ia tersenyum, walau matanya berkaca-kaca.
“Sabar ya, Nak. InsyaAllah ada rezeki nanti untuk memperbaiki atap ini. Jangan pernah berhenti berdoa.”
Rafi mengangguk. Ia memeluk ibunya erat. “Rafi janji akan selalu bantu Ibu. Walau Rafi nggak bisa kasih banyak.”
Ibunya membelai kepala Rafi. “Doa dan sabarmu sudah cukup, Nak. Allah tahu kita sedang berjuang.”
Keesokan harinya, Rafi berjalan menyusuri jalan tanah. Perutnya keroncongan, tapi ia hanya membawa beberapa koin receh. Ketika melewati sebuah warung sederhana, aroma nasi hangat membuatnya berhenti.
Pemilik warung, Pak Hasan, melihatnya.
“Eh, Rafi… kenapa berdiri saja di situ? Masuk, Nak.”
Rafi ragu-ragu. “Rafi cuma… pengen cium baunya saja, Pak,” katanya sambil tersenyum malu.
Pak Hasan terdiam, lalu mengambil sepiring nasi dan lauk tempe goreng. Ia meletakkannya di meja.
“Makanlah, Nak. Kau tidak perlu membayar.”
Mata Rafi membesar. “Tapi… Rafi nggak punya uang, Pak.”
Pak Hasan menepuk pundaknya. “Kau anak yatim, ya? Rezekimu sudah Allah jamin. Aku hanya jadi perantara. Makanlah.”
Rafi duduk perlahan. Tangannya bergetar saat memegang sendok. “Terima kasih, Pak… semoga Allah balas kebaikan Bapak.”
Air mata hampir jatuh, tapi ia tahan dengan senyum. Senyum sederhana, namun penuh syukur.
Malam harinya, setelah kenyang dengan sepiring nasi pemberian Pak Hasan, Rafi menatap adiknya yang tidur pulas. Ia berbicara lirih kepada ibunya.
“Bu, Rafi tadi dikasih makan sama Pak Hasan. Gratis. Rasanya enak sekali, Bu. Bukan karena lauknya… tapi karena hatinya.”
Bu Aisyah tersenyum. “Itulah, Nak. Orang yang peduli pada yatim dan dhuafa, hatinya lebih kaya daripada yang punya harta berlimpah.”
Rafi menunduk. “Kalau begitu, kalau suatu hari Rafi sudah besar dan punya rezeki… Rafi juga mau begitu, Bu. Mau bikin orang lain tersenyum, seperti senyum Rafi hari ini.”
Ibunya menitikkan air mata. “Aamiin, Nak. Kau mengerti hakikat hidup lebih cepat dari orang-orang yang dewasa sekalipun.”
Pesan Penutup
Hakikat anak yatim dan dhuafa bukan sekadar tentang kehilangan atau kekurangan. Justru di balik air mata mereka, tersimpan kekuatan yang mengajarkan dunia tentang arti sabar, syukur, dan kasih sayang.
(By Ketum YBIM)
Posting Komentar untuk "Sepiring Nasi di Balik Senyum."