Setangkai Bunga di Balik Hujan
Hujan sore itu mengguyur deras. Jalanan becek, anak-anak berlarian mencari tempat berteduh. Namun, di sudut pasar yang lengang, seorang bocah kecil masih berdiri sambil memeluk dagangannya—seikat bunga kertas berwarna-warni yang mulai basah kuyup.
Namanya Aisyah. Ia yatim sejak usia enam tahun, ayahnya meninggal karena sakit keras. Ibunya hanya buruh cuci, kadang bekerja, kadang tidak, sehingga Aisyah membantu dengan menjual bunga kertas hasil lipatannya sendiri.
“Dek, kamu nggak pulang? Hujan deras lho,” tegur seorang ibu penjual sayur yang sudah merapikan dagangannya.
Aisyah tersenyum kecil, “Nggak apa-apa, Bu. Kalau saya pulang, bunga ini nanti rusak. Belum ada yang beli sejak tadi pagi…”
Ibu penjual sayur itu terdiam. Hatinya tercekat melihat bocah sekecil itu begitu tabah. Namun, sebelum sempat berkata lagi, seorang anak lelaki seumuran Aisyah menghampiri. Bajunya lusuh, kakinya telanjang, wajahnya penuh lumpur.
“Assalamu’alaikum,” sapa anak itu dengan suara lirih.
“Wa’alaikumussalam. Kamu siapa?” tanya Aisyah heran.
“Aku Rahman. Aku juga jualan… tapi jualan tenaga. Sering bantuin orang angkat barang di pasar. Tapi hari ini nggak ada yang mau pakai tenagaku.”
Aisyah tersenyum, walau matanya berkaca-kaca. Ia mengulurkan setangkai bunga kertas kepada Rahman.
"Nih, buat kamu. Biar nggak sedih.”
Rahman menatap bunga itu lama sekali, seolah tak percaya ada yang memberinya hadiah. “Tapi aku nggak punya uang…”
“Nggak usah bayar. Aku tahu rasanya nggak punya apa-apa. Bunga ini memang sederhana, tapi semoga bisa bikin hatimu hangat.”
Rahman menggenggam bunga itu erat-erat. “Kamu baik sekali, Aisyah. Padahal kamu juga susah…”
Mendengar itu, Aisyah menatap langit yang masih diguyur hujan. “Kata ibu, meskipun kita miskin, jangan pernah pelit berbuat baik. Mungkin bukan harta yang bisa kita bagi, tapi hati yang tulus akan selalu cukup.”
Tiba-tiba, seorang lelaki paruh baya dengan payung besar menghampiri mereka. Dari tadi ia memperhatikan percakapan sederhana itu.
“Dek, bunga ini berapa?” tanyanya ramah.
“Seribu rupiah, Pak,” jawab Aisyah lirih.
“Kalau begitu, Bapak beli semuanya.”
Mata Aisyah terbelalak. Dagangannya ada dua puluh tangkai. Ia menyerahkan semuanya dengan tangan bergetar. Lelaki itu tersenyum, lalu menambahkan,
“Dan ini untukmu dan teman barumu, jaga baik-baik.”
Ia memberikan uang yang jauh lebih besar dari harga bunga itu. Aisyah dan Rahman saling berpandangan, air mata mereka jatuh bercampur dengan hujan.
Hari itu, di tengah derasnya hujan, dua anak yatim dan dhuafa merasakan bahwa kebaikan tak pernah salah alamat. Bahwa sekecil apa pun ketulusan, akan selalu kembali berlipat ganda.
Cerpen ini menekankan hakikat anak yatim dan dhuafa: meski hidup dalam kekurangan, mereka tetap punya hati yang besar untuk berbagi, dan Allah senantiasa mengirimkan pertolongan melalui jalan yang tak disangka.
(By Ketum YBIM)
Posting Komentar untuk "Setangkai Bunga di Balik Hujan"